SAMASTA BHADRATARA

SAMASTA BHADRATARA | BERSAMA UNTUK SEJAHTERA

Selasa, 12 Juni 2012

OPINI: Pentingnya Membangun Jiwa Entrepreneur Muda di Era Otonomi Daerah




Oleh : IRMAN GUSMAN
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (SENAT)  Republik Indonesia 


        Dapat dikatakan bahwa promosi demokrasi di Indonesia sejak reformasi 1998 telah berlangsung dengan kemajuan yang pesat  dan diantaranya  menjadi bench mark perkembangan demokrasi di dunia internasional. Demokratisasi politik mengalami kemajuan yang luar biasa, kebebasan berpendapat dan berserikat,   pemilu dengan penyelenggara yang independen dan keterlibatan rakyat secara luas, kebebasan berpolitik dan kebebasan pers, sistem ketata-negaraan  check and balances,  desentralisasi pemerintahan, dll.
      Sayangnya, liberalisasi dalam bidang ekonomi seperti menjadi ”momok” dan banyak orang  seperti menjadi  skeptik. Kenyataan atas poisisi liberalisasi ekonomi yang dipersepsikan kurang positif oleh sebagian masyarakat, antara lain atas alasan hal-hal  berikut : pertama, sebagai frontier liberalisasi, ternyata kerja ekonomi  Indonesia ditopang oleh non-tradeable. Hal itu mengandung arti bahwa  besar kemungkinan belum secara nyata berhasil mempersiapkan landasan sektor tradeable supaya mampu bersaing pada saat liberalisasi. Sebagai contoh, saat sekarang dengan  membuka perdagangan dengan China, dan bisa dicek berapa banyak garment dari China di pasar Tanah Abang. Juga di Pasar Klewer sebagai pasar tradisional dan berada di ”pelosok”, cukup banyak dijumpai adanya batik print dari China, juga handphone dari China, mislanya.  Ada tantangan besar bagi Indonesia dengan berkaca pada kasus-kasus tersebut.  
     Kedua,  bahwa dalam persoalan liberalisasi Indonesia, kita tidak mampu memanfaatkan liberalisasi untuk mendorong pertumbuhan. Basically, Indonesia adalah negara besar, dengan pertumbuhan yang didukung oleh consumption driven.  Ketika Indonesia terbuka ke pasar bebas, maka  lebih banyak memberi benefit bagi negara luar.  China dan India tidak mendorong konsumsi tetapi mendorong investasi.  Kita belum berhasil mendorong investasi dibanding China dan India, sehingga perbaikan ekonomi pada masyarakat belum dirasakan secara signifikan.
      Ketiga, perekonomian kita tidak tumbuh dalam tradeable sector sebagai penghela pertumbuhan  ekonomi.  Non trade-able sector tumbuh rata-rata 8 % sedangkan sektor tradeable seperti pertanian, pertambangan dan manufaktur hanya tumbuh 3,5 %. Padahal,  sektor tradeable  justeru dapat  menyerap tenaga kerja paling besar. Untuk itu harus ada pengaturan ulang kebijakan,  dengan mendorong perkembangan industri manufaktur sebagai penyedia lapangan kerja paling banyak selain akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena ekspor. 
      Pembangunan bidang ekonomi  dengan indikator makro dari tahun ke tahun tergambar secara cukup positif, mencapai 5 sampai 6 % per tahun dan  indeks harga saham yang cukup baik dan stabil. Namun hal itu belum dirasakan oleh masyarakat secara langsung sehingga, ciri yang mengemuka adalah gambaran dimana kesejahteraan belum dirasakan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Hal itu  terutama disebabkan karena kurangnya lapangan kerja.   Pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator dan regulator belum dapat menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 70 % berpendidikan dibawah tingkat SMP dan diantaranya 53% penduduk  yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar.
      Perspektif pembangunan ekonomi kita belum secara tajam berkaitan dengan dimensi sumberdaya manusia, karena masih lebih terkonsentrasi pada perijinan dan suku bunga.  Dengan peran seperti ini, maka  pemerintah akan sulit dalam mengurangi kemiskinan. Disisi lain, agenda penanganan kemiskinan berlangsung dalam mainstream  per  kementerian.  Padahal ada kebutuhan untuk betul-betul secara terintegrasi, misalnya bagaimana mungkin melepaskan dari kemiskinan apabila suatu wilayah tidak terjangkau infrastruktur. 
      Dengan berbagai pertimbangan untuk mendorong perkembangan kesejahteraan rakyat   di daerah- daerah, maka DPD RI terus mendorong upaya-upaya integrasi wawasan para pengambil kebijakan dan komunitas bisnis nasional dan internasional  untuk membangun daerah. Sejak tahun 2006 melalui kegiatan Indonesia Regional Investment Forum (IRIF) sampai dengan tahun 2008, serta kegiatan Regional Trade Tourism and Investment (RTTI)   dan  Agenda investasi regional pada kegiatan Konferensi World Islamic Ecoconic  Forum (WIEF) tahun 2009 di Jakarta, sangat jelas langkah-langkah DPD RI untuk menarik investasi ke daerah dan yang lebih penting membangun daya saing daerah serta  untuk memotivasi para pengambil kebijakan daerah menumbuhkan kewirausahaan  secara lebih luas di daerah-daerah di Indonesia.
      Konsensus politk bangsa Indonesia untuk memilih kehidupan demokratis serta kebijakan  pengelolaan pemerintahan secara desentralistik, telah mendorong pembangunan Indonesia di segala bidang, dengan konsep pembangunan yang partisipatif di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan daerah  sebagai  ujung tombak pembangunan. Mengukur keberhasilan pembangunan  dari daerah seluruh Indonesia, bukan hanya Jakarta.
      Pembangunan Indonesia  dengan paradigma baru yang partisipatif dan berkeadilan  dilaksanakan dalam suasana globalisasi yang makin intensif berlaku. Oleh karena itu, diperlukan penguatan daya saing daerah untuk memenangkan persaingan dengan negara-negara lain.  Usaha untuk meningkatkan daya saing terdiri dari penguatan kemampuan berbagai pihak seperti sumberdaya teknis, birokrasi,  politikus daerah dan terutama kemampuan entrepreneur dari semua pihak.
      Kemampuan entrepreneur menjadi sangat penting karena Indonesia memerlukan perjuangan yang keras untuk memberikan nilai tambah bagi segala sumberdaya sehingga bisa bersaing dengan negara-negara lain, terutama negara maju. Kita memerlukan nilai-nilai dan elemen-lemen yang mendukung kemajuan dan kemakmuran yaitu, brain, dream, spirit dan confidence yang khas dimiliki oleh siapapun yang berjiwa entrepreneur utamanya dengan membuka ruang bagi tumbuhnya entrepreneur muda.
      Entrepreneurship terbukti mampu menjadi solusi bagi kondisi ekonomi sebuah bangsa.  Raymond Kao mengatakan: It may take a revolution to gain  political freedom, but it only take entrepreneurial spirit to gain economic freedom. Artinya, kita harus memberdayakan masyarakat dengan menanamkan nilai entrepreneurship untuk mencapai kekuatan dan ketahanan ekonomi bangsa. Ia berbeda dengan upaya mencapai kemerdekaan politik yang memerlukan revolusi. Kemerdekaan ekonomi hanya perlu perubahan spirit, yaitu menjadi berspirit entrepreneur.
      Jika kita lihat pembangunan bangsa terakhir ini, ada pergeseran yang cukup signifikan. Terutama makin bertambahnya kelas menengah ekonomi. Hal ini sejalan dengan laporan Majalah Globe edisi Desember 2011 yang memberitakan kemunculan fenomena baru, yaitu menguatnya posisi dan peran pengusaha di Indonesia.
      Menurut rilis Majalah Globe tersebut, 25 dari 50 orang paling berpengaruh di Indonesia adalah entrepreneur. Fenomena ini sebenarnya sudah mulai ditelisik oleh pengamat sosial politik sejak periode reformasi. Peran sosial politik tidak lagi didominasi hanya oleh golongan militer dan birokrat yang berada di lingkaran penguasa tetapi mulai bergeser ke pengusaha. Menguatnya peran pengusaha, terutama pengusaha muda, merupakan buah dari proses demokratisasi. Demokrasi telah membuka ruang bagi partisipasi rakyat, tidak hanya di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi. Bahkan aktor-aktor penting yang menentukan dinamika politik juga berasal dari kelompok pengusaha.
      Jika kita analisis data majalah Forbes sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2011, ada dua fenomena menarik yang terjadi. Pertama, pergerakan peringkat orang terkaya di Indonesia berjalan jauh lebih dinamis daripada pada masa Orde Baru. Beberapa orang-orang kaya muncul di masa reformasi bukan oleh proteksi pemerintah tetapi oleh jiwa kewirausahaan yang kuat. Kedua, pengusaha-pengusaha yang masuk dalam top 40 Forbes tersebut ternyata makin berperan dalam menentukan kebijakan publik di Indonesia. Mereka makin kuat posisinya dalam sistem politik Indonesia.
      Tentu saja kita patut mensyukuri prestasi demokrasi ini. Ada sejumlah kemajuan yang disebabkan oleh makin menguatnya demokrasi. Demokrasi yang kita pahami memang mempunyai ciri dasar yaitu penghargaan terhadap kebebasan, hak asasi manusia dan kedudukan yang setara dalam semua bidang kehidupan.  Demokrasi di Indonesia juga tidak terbatas pada bidang politik dan pemerintahan, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Artinya, partisipasi dan peran rakyat dalam bidang ekonomi dibuka luas dan diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya. Demikian juga dalam konteks hirarki pemerintahan, sentralisme pusat diubah menjadi desentralisasi. Diharapkan dengan desentralisasi peran dan partisipasi daerah menjadi ujung tombak dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan demikian, pembangunan nasional merupakan agregat dari pembangunan daerah di seluruh Indonesia. Meskipun begitu, proses demokratisasi kita masih lemah dan lambat. Hal ini konsisten dengan gagasan saya, bahwa kita memerlukan pemantapan konsolidasi demokrasi agar kita mencapai full and substantive democracy.  
      Saya ingin mempertegas lagi mengenai dimensi pembangunan ekonomi kita, yang telah saya angkat sebagian pada awal tulisan ini.  Secara makro, dalam beberapa aspek, kita patut berbangga karena telah mencapai beberapa keberhasilan. Pertama, keberhasilan pembangunan ekonomi diukur oleh meningkatnya pendapatan perkapita nasional yang mencapai  US$ 3600 pada tahun 2011 kemarin. Kedua,  Tingkat rasio utang kita terhadap PDB yang bagus, yaitu di tingkat 26% dengan prestasi baru berupa pencapaian investment grade. Ketiga, laju pertumbuhan ekonomi nasional yang selalu berada di atas 6% paling tidak selama tiga tahun terakhir. Bahkan, di era krisis ekonomi dunia dimana banyak negara mengalami kontraksi ekonomi, kita masih bisa tumbuh di atas 5% per tahun. Hal itu menunjukkan fondasi ekonomi dunia cukup bagus. Cadangan devisa kita juga tidak terlalu buruk meskipun akhir-akhir ini digerus oleh peningkatan harga minyak dunia yang terus meroket hingga lebih dari US$ 105 per barel.
      Tidak heran jika dengan indikator makro ekonomi yang bagus tersebut Indonesia dianggap merupakan salah satu emerging economy yang terus tumbuh pesat. Pada tahun 2025, Indonesia diprediksi akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dunia bersama dengan China, India dan Brazil. Pada tahun 2025 tersebut, diperkirakan pendapatan per kapita Indonesia bisa mencapai US$ 15.000.
      Indikator-indikator makro tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil mencapai sejumlah prestasi. Namun, tentu saja masih ada beberapa kekurangan yang harus kita perbaiki. Kelemahan mendasar yang sering dikritik oleh para pengamat ekonomi dan politik yaitu bahwa kondisi ekonomi yang bagus tidak selalu tercermin dalam keseharian masyarakat. Pertumbuhan ekonomi, misalnya dianggap tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat
      Meskipun pembangunan ekonomi kita tumbuh rata-rata 6 persen per tahun, namun pertumbuhan itu masih didominasi ekonomi makro yakni sektor modern ketimbang  sektor riil yang notabene merupakan sektor utama masyarakat. Sehingga dampak pembangunan ekonomi belum merata, masih tersentralistik pada wilayah kota-kota besar yang pada gilirannya justru menimbulkan makin lebarnya jurang kesenjangan. Kesenjangan akibat pembangunan sebagai contoh, pertumbuhan kesejahteraan kelas menengah dan kelas atas di Indonesia demikian tinggi, namun pada saat yang sama, tingkat penduduk miskin dan hampir miskin juga belum mencapai hasil yang signifikan. Pertumbuhan kekayaan 40 orang kaya di Indonesia, menurut majalah Forbes sebagaimana telah disebut di atas adalah sekitar US$ 19 milyar. Namun pada saat yang sama, penduduk yang jatuh dari tingkat pra-sejahtera ke tingkat hampir miskin justru bertambah. Tentu saja kita tidak anti terhadap orang kaya, namun kita mengharapkan kekayaan itu mencerminkan peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam kata lain, kita berharap bahwa ketimpangan pendapatan makin lama akan makin berkurang.
      Dalam konteks daerah, kesenjangan juga masih terjadi. DPD RI pada tahun 2011, telah melakukan sebuah upaya untuk mengukur daya saing daerah di 7 provinsi yaitu: DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara barat dan Maluku. Hasilnya, DKI Jakarta masih menempati urutan tertinggi dengan skor skor 9,14. Jauh di atas Sumbar yang hanya meraih skor 6,83. Hal itu menandakan bahwa daerah, terutama di luar Jawa masih jauh tertinggal dalam pembangunan ekonomi baik dari sisi ketersediaan infrastruktur, sumberdaya manusia maupun sistem pemerintahan yang mendukung. Kesenjangan antara daerah dan pusat serta antar daerah ini juga harus menjadi perhatian dalam membangun ekonomi nasional secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kecemburuan dan memperbesar potensi disintegrasi.
      Lemahnya dukungan demokrasi terhadap pembangunan ekonomi dapat kita lihat dari beberapa fakta. Pertama, Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum 2011-2012. Ranking daya saing kita berada pada ranking 46 dari 142 negara. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lain kita diungguli Singapura di peringkat 2, Malaysia 21, Brunai Darussalam 28, Thailand 39, kita hanya lebih baik dari Vietnam di ranking 65, Philipina 75, dan Kamboja 97. Dimana variabel yang diukur terdiri dari pengeluaran, ekonomi makro dan perdagangan, pendidikan tinggi, infrastruktur, pendidikan dasar, kesehatan, dan sustainability.
      Kedua, Doing Business Report Tahun 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia. Indeks kemudahan bisnis di Indonesia berada pada ranking 129 dari 183 negara. Dibandingkan dengan Doing Business Report Tahun 2011, kita mengalami penurunan  dimana saat itu Indonesia berada pada ranking 121 dari 183 negara. Indeks ini jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN kita lebih rendah dari Singapura di peringkat 1 dunia, Thailand ranking 17, Malaysia ranking 18, Vietnam ranking 98, dan Brunai Darussalam ranking 83. Indonesia hanya lebih baik dari Philipina dan Kamboja di ranking 38 serta Laos di ranking 165
      Ketiga, Human Development Index 2011. Indonesia berada pada rangking 124 atau menurun dari tahun 2010 yang berada pada rangking 108 dunia. HDI mengukur prestasi keseluruhan suatu negara menurut tiga dimensi Pembangunan Manusia, yaitu panjang usia, pengetahuan, dan standar hidup layak.
   Beberapa gambaran indikator tersebut merupakan modal sekaligus peringatan bahwa kita harus terus memperbaiki kualitas pembangunan ekonomi nasional. Kita harus mendesain pembangunan ekonomi nasional secara lebih holistik dan komprehensif untuk menghasilkan output yang baik pula. Beberapa indikator di atas juga mengindikasikan bahwa pembangunan nasional yang dijalankan belum memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut merupakan akibat dari belum terciptanya good and clean government sebagaimana yang kita harapkan.
      Dalam kondisi yang seperti itu, kita amat memerlukan sebuah jalan keluar yang akan membawa bangsa dan negara kepada keadaan yang lebih baik. Tujuannya adalah memperbaiki kualitas demokrasi maupun kualitas ketahanan ekonomi Indonesia. Jika kita berkaca pada kasus  China dan India, maka salah satu kunci penting untuk mencapai kemajuan bangsa adalah adanya entrepreneurship/kewirausahaan yang kuat dari individu maupun pelaksana pemerintahan.
      Yang dimaksud sebagai entrepreneurship sesungguhnya tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang social (social entrepreneurship), politik (political entrepreneurship) maupun birkorasi (bureaucratical entrepereneurship).  Tentu saja ada perbedaan tujuan antara tipe-tipe entrepreneurship tersebut, yaitu mengenai tujuannya. Namun kesemua tipe entrpreneurship tersebut punya nilai dasar yaitu spirit entrepreneurship itu sendiri.
      Social entrepreneurship adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat untuk bisa mengubah dirinya sendiri baik dari segi ekonomi maupun kehidupan sosialnya. Sedangkan political entrepreneurship adalah upaya seseorang untuk membuat kehidupan politik berjalan secara fair, transparan dan memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat. Sementara, beuraucratical entrepreneurship adalah upaya menjadikan birokrasi berfungsi sebagai pelayan publik yang ideal. Terakhir, economical entrepreneurship adalah upaya meningkatkan nilai tambah suatu barang, menciptakan lapangan kerja dan turut serta dalam menciptakan kemakmuran masyarakat.
      Intinya, entrepreneurship adalah spirit atau jiwa untuk mengubah keadaan. Entrepreneurshipness adalah sebuah gerakan yang timbul dari nilai yang meyakini bahwa kita tidak boleh melihat segala sesuatu sebagai sesuatu yang statis dan apa adanya. Entrepreneurship menuntut sebuah paradigma pemikiran yang out of the box. Gunanya adalah untuk mengembangkan inovasi, terobosan dan langkah-langkah yang strategis untuk memperbaiki keadaan.
      Jadi, entrepreneurship  merupakan  semangat, spirit atau jiwa untuk terus bergerak maju ke arah yang lebih baik. Untuk itu, kehadiran nilai entrepreneurship harus terus disebarluaskan. Saya berkeyakinan inilah yang terbaik bagi Indonesia yang tengah menghadapi berbagai masalah di semua bidang kehidupan. Hal ini berangkat dari asumsi dasar yaitu: there`s no underdeveloped country but undermanaged country. Artinya, aspek manajerial dalam pengelolaan kehidupan sosial, ekonomi dan politik harus diupayakan untuk terus ditingkatkan. Disitulah letak arti penting jiwa entrepreneurship. Spirit entrepreneur memiliki ciri khas yaitu sikap pantang menyerah, kreatif, innovative, punya inisiatif, bernia mnegambil reisko (risk taker), serta peduli terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Kesemuanya diwujudkan dalam system manajerial yang baik, baik manajemen individual, manajemen sumberdaya maupun manajemen social politik.  Be entrepreneur, be agent of change!
Dewan Perwakilan Daerah  (DPD) RI  terus berupaya untuk  mendorong pembangunan perekonomian daerah, karena esensi dari kebijakan desentralisasi dan pelaksanaan otonomii daerah adalah semangat membangun  kesejahteraan rakyat. Secara konsisten DPD RI   akan terus mendorong dan mendukung setiap langkah  membangun perekonomian. Secara sangat mendasar  konteks kehadiran HIPWI-FKPPI sejalan pula dengan upaya untuk membangun perekonomian yang sejalan dengan  semangat dan nafas UUD 1945.   HIPWI-FKPPI telah mengkombinasikan semangat kebangsaan melalui langkah-langkah membangun perekonomian  yang bersifat aspiratif dan partisipatif dari masyarakat secara luas.  Selamat atas kehadiran lembaga HIPWI-FKPPI dan sukses dalam menjalankan misi bagi kesejahteraan bangsa Indonesia di seluruh penjuru tanah air. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar